Kali ini saya mau share tulisan saya mengenai review buku dari penulis sastra
favorit sepanjang masa, Pramoedya Ananta Toer. Sebenarnya sudah saya tulis sejak Mei dan tanpa niat rencana saya menulis review ini. Semua karena tuntutan atau tawaran dari salah satu redaksi majalah ENKULTURA
yaitu majalah milik Antropologi Fisip Unpad yang menawarkan saya untuk menulis
di majalah tersebut. Saya pun diminta untuk menulis review buku. Tanpa pikir panjang saya pun mengiyakan karena apa sih yang engga buat jurusan
tercinta:) eaaak. Saya pun langsung kepikiran untuk menulis review buku
keluarga gerilja.
Buku
Pramoedya Ananta Toer yang terkenal memang buku tetraloginya. Tetapi coba kalian baca Keluarga Gerilja. Merupakan buku lama dan langka yang isinya pun masih
dengan ejaan lama. Merupakan buku
sejarah yang disampaikan dengan cara yang berbeda. Seperti dengan bukunya yang
lain, masih bernuansa nasionalisme. Namun yang menarik, dalam buku ini Pram
tidak membiarkan pembaca untuk mengecap sedikit saja kebahagiaan dalam alur ceritanya.
Dari awal hingga akhir, cerita yang disajikan bernuansa muram, menyakitkan,
mencekam, dan bahkan tragis.
Kemuraman
itu menimpa 1 keluarga yang sangat miskin yang bersetting di Jakarta pada masa
revolusi kemerdekaan tahun 1949 yaitu Amilah yang merupakan seorang janda tua yang
depresi beserta 7 orang anaknya yaitu Saaman (Aman), Tjanimin (Mimin), Kartiman
(Maman), Salamah (Amah), Fatimah (Imah), Salami (Mimi), dan Hasan. Di buku ini
diceritakanlah kehidupan masing-masing anggota keluarga tersebut yang
dijabarkan dari sudut pandang masing-masing dari mereka.
Keluarga
gerilja merupakan buku sederhana dengan konflik yang luar biasa. Diceritakan
dalam waktu 3 hari 3 malam dan itu membuat para pembaca akan ikut masuk pada
kedalaman cerita dan ikut merasakan begitu kejamnya hidup pada zaman agresi
militer Belanda. Semuanya dikorbankan demi kemerdekaan Indonesia. Bahkan
membunuh ayah sendiri pun menjadi sah saja.
Saaman
merupakan pemuda nasionalis dan sudah muak dengan perilaku ayahnya yang sangat
bertolak belakang dengan prinsipnya. Ayahnya sangat tidak nasionalis, gemar
mabuk yang juga merupakan tentara KNIL yang memihak KNIL Belanda. Beserta
adik-adiknya yang lain yaitu Mimin dan Maman, ia membunuh ayahnya sendiri yaitu
Kopral Paidjan.
Amilah
merupakan wanita simpanan di tangsi atau markas milliter yang mempunyai julukan
“bunga tangsi selendang mayang”. Pada masa mudanya ia memilikki paras yang cantik
sehingga para lelaki pun bertekuk letuk padanya, namun kini ia hanyalah wanita
tua yang depresi akibat kekejaman revolusi. Aman yang dulu merupakan pegawai
Kementrian Kemakmuran yang kini menjadi tukang becak tiba-tiba ditangkap oleh
MP atau militer Belanda karena terbukti menjadi pimpinan gerilyawan yang
membunuh puluhan antek Belanda termasuk ayahnya sendiri. Aman mengakui dosanya
yang telah membunuh ayahnya sendiri dan mengaku akan menebus dosanya itu.
Amilah
semakin depresi karena Aman anak kesayangannya yang menjadi tulang punggung
keluarga tidak pulang-pulang. Kelakuan Amilah semakin menjadi-jadi. Setiap hari
ia berteriak memanggil nama Aman anak kesayangannya, bersikap tempramen
terhadap anak-anaknya yang lain, hingga meronta-ronta seperti binatang. Keadaan
keluarganya pun semakin miskin dan sulit. Namun Mas Darsono, tunangan Salamah, bersedia
menafkahi keluarga pejuang itu meskipun tidak mengubah keadaan sulit keluarga
tersebut.
Sementara
itu, Mimin dan maman yang merupakan tentara gerilya berada jauh dari
keluarganya dan berada di Madiun. Mereka bertugas dalam misi menumpas
pemberontakan komunis dan sampai akhirnya mereka berdua meninggal juga dalam
sebuah peperangan.
Aman
sebagai tokoh utama dalam novel ini pun berujung tragis. Aman dijatuhi hukuman
mati oleh Belanda. Meskipun Direktur penjara akhirnya berpihak pada Aman dan memberikan
grasi kepada Aman, juga menawarkan jaminan agar hidup keluarganya sejahtera, namun
Aman tetap berprinsip dan tidak menerima kebaikan dari penjajah bangsanya
sendiri. Dia tetap berjuang sampai akhir hayatnya untuk mempertahankan harga
dirinya dan berprinsip pada apa yang menurutnya benar. Ia pun berakhir mati
dalam tembakan di kayu sula.
“Kalau
aku mati, adalah sudah nasibku. Biarlah aku mati muda. Aku baru berumur dua
puluh empat tahun. Dan tahun depan aku dua puluh lima. Tapi mengapa aku takut
mati? Seperempat abad kurang sedikit aku telah hidup di dunia ini. Biarlah
rupa-rupanya sudah takdir Tuhan. Namun, yakinlah aku: Segala dosa yang sudah
kujalankan itu adalah dosa seperorangan yang akan menguntungkan perjuangan. Aku
sendiri tidak tahu betapa besar-kecilnya keuntungan itu, namun sudah
kuhancurkan hampir-hampir satu seksi serdadu. Jiwa ragaku telah kugadaikan pada
perjuangan” - Saaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar