Minggu, 17 Juli 2016

Review Buku Keluarga Gerilja-Pramoedya Ananta Toer

Kali ini saya mau share tulisan saya mengenai review buku dari penulis sastra favorit sepanjang masa, Pramoedya Ananta Toer. Sebenarnya sudah saya tulis sejak Mei dan tanpa niat rencana saya menulis review ini. Semua karena tuntutan atau tawaran dari salah satu redaksi majalah ENKULTURA yaitu majalah milik Antropologi Fisip Unpad yang menawarkan saya untuk menulis di majalah tersebut. Saya pun diminta untuk menulis review buku. Tanpa pikir panjang saya pun mengiyakan karena apa sih yang engga buat jurusan tercinta:) eaaak. Saya pun langsung kepikiran untuk menulis review buku keluarga gerilja.

Buku Pramoedya Ananta Toer yang terkenal memang buku tetraloginya. Tetapi coba kalian baca Keluarga Gerilja. Merupakan buku lama dan langka yang isinya pun masih dengan ejaan lama. Merupakan buku sejarah yang disampaikan dengan cara yang berbeda. Seperti dengan bukunya yang lain, masih bernuansa nasionalisme. Namun yang menarik, dalam buku ini Pram tidak membiarkan pembaca untuk mengecap sedikit saja kebahagiaan dalam alur ceritanya. Dari awal hingga akhir, cerita yang disajikan bernuansa muram, menyakitkan, mencekam, dan bahkan tragis.

Kemuraman itu menimpa 1 keluarga yang sangat miskin yang bersetting di Jakarta pada masa revolusi kemerdekaan tahun 1949 yaitu Amilah yang merupakan seorang janda tua yang depresi beserta 7 orang anaknya yaitu Saaman (Aman), Tjanimin (Mimin), Kartiman (Maman), Salamah (Amah), Fatimah (Imah), Salami (Mimi), dan Hasan. Di buku ini diceritakanlah kehidupan masing-masing anggota keluarga tersebut yang dijabarkan dari sudut pandang masing-masing dari mereka.
Keluarga gerilja merupakan buku sederhana dengan konflik yang luar biasa. Diceritakan dalam waktu 3 hari 3 malam dan itu membuat para pembaca akan ikut masuk pada kedalaman cerita dan ikut merasakan begitu kejamnya hidup pada zaman agresi militer Belanda. Semuanya dikorbankan demi kemerdekaan Indonesia. Bahkan membunuh ayah sendiri pun menjadi sah saja.

Saaman merupakan pemuda nasionalis dan sudah muak dengan perilaku ayahnya yang sangat bertolak belakang dengan prinsipnya. Ayahnya sangat tidak nasionalis, gemar mabuk yang juga merupakan tentara KNIL yang memihak KNIL Belanda. Beserta adik-adiknya yang lain yaitu Mimin dan Maman, ia membunuh ayahnya sendiri yaitu Kopral Paidjan.
Amilah merupakan wanita simpanan di tangsi atau markas milliter yang mempunyai julukan “bunga tangsi selendang mayang”. Pada masa mudanya ia memilikki paras yang cantik sehingga para lelaki pun bertekuk letuk padanya, namun kini ia hanyalah wanita tua yang depresi akibat kekejaman revolusi. Aman yang dulu merupakan pegawai Kementrian Kemakmuran yang kini menjadi tukang becak tiba-tiba ditangkap oleh MP atau militer Belanda karena terbukti menjadi pimpinan gerilyawan yang membunuh puluhan antek Belanda termasuk ayahnya sendiri. Aman mengakui dosanya yang telah membunuh ayahnya sendiri dan mengaku akan menebus dosanya itu.
Amilah semakin depresi karena Aman anak kesayangannya yang menjadi tulang punggung keluarga tidak pulang-pulang. Kelakuan Amilah semakin menjadi-jadi. Setiap hari ia berteriak memanggil nama Aman anak kesayangannya, bersikap tempramen terhadap anak-anaknya yang lain, hingga meronta-ronta seperti binatang. Keadaan keluarganya pun semakin miskin dan sulit. Namun Mas Darsono, tunangan Salamah, bersedia menafkahi keluarga pejuang itu meskipun tidak mengubah keadaan sulit keluarga tersebut.
Sementara itu, Mimin dan maman yang merupakan tentara gerilya berada jauh dari keluarganya dan berada di Madiun. Mereka bertugas dalam misi menumpas pemberontakan komunis dan sampai akhirnya mereka berdua meninggal juga dalam sebuah peperangan.

Aman sebagai tokoh utama dalam novel ini pun berujung tragis. Aman dijatuhi hukuman mati oleh Belanda. Meskipun Direktur penjara akhirnya berpihak pada Aman dan memberikan grasi kepada Aman, juga menawarkan jaminan agar hidup keluarganya sejahtera, namun Aman tetap berprinsip dan tidak menerima kebaikan dari penjajah bangsanya sendiri. Dia tetap berjuang sampai akhir hayatnya untuk mempertahankan harga dirinya dan berprinsip pada apa yang menurutnya benar. Ia pun berakhir mati dalam tembakan di kayu sula.

“Kalau aku mati, adalah sudah nasibku. Biarlah aku mati muda. Aku baru berumur dua puluh empat tahun. Dan tahun depan aku dua puluh lima. Tapi mengapa aku takut mati? Seperempat abad kurang sedikit aku telah hidup di dunia ini. Biarlah rupa-rupanya sudah takdir Tuhan. Namun, yakinlah aku: Segala dosa yang sudah kujalankan itu adalah dosa seperorangan yang akan menguntungkan perjuangan. Aku sendiri tidak tahu betapa besar-kecilnya keuntungan itu, namun sudah kuhancurkan hampir-hampir satu seksi serdadu. Jiwa ragaku telah kugadaikan pada perjuangan” - Saaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar